Prodi

MELAWAN PENJAJAHAN BUDAYA POPULER

Primi Rohimi*

Bangsa yang merdeka dan berdaulat sesungguhnya tidak hanya terbebas dari penjajahan fisik atau agresi militer namun juga terbebas dari penjajahan budaya (cultural imperialisme). Penjajahan budaya adalah ketika budaya bangsa lain menjadi superior atau menguasai budaya bangsa sendiri. Negara kuat menjajah pikiran negara lemah (As-Sirjani, 2015: 82). Penjajahan budaya terkesan tidak menampilkan cara-cara keras dan paksaan (represi eksternal) tapi lebih menggunakan cara internal yang bergerilya dalam peradaban suatu bangsa.

Peradaban suatu bangsa di mana pun berinteraksi dengan budaya asing. Kenyataannya, budaya asing telah jamak berakulturasi dengan budaya bangsa Indonesia sejak lama. Akulturasi budaya asing dengan budaya Indonesia misalnya bangunan candi, baju kebaya encim, seni musik keroncong, dan lainnya. Akulturasi budaya adalah efek globalisasi yang tidak bisa dihindarkan dan berbeda dengan penjajahan budaya. Akulturasi tersebut sampai saat ini menguatkan identitas bangsa Indonesia karena akulturasi memang seharusnya tidak menghilangkan sifat khas kepribadian kebudayaan asal (Koetjaraningrat, 1980: 248).

Budaya Populer di Media

Penjajahan budaya akhir-akhir ini dicurigai muncul dari budaya populer asing yang pada titik tertentu mengaburkan sifat khas kepribadian bangsa Indonesia. Budaya populer ditampilkan oleh media massa modern (Strinati, 2004: x). Media massa modern tersebut misalnya film, televisi, dan lainnya. Penjajahan budaya populer sederhananya terjadi ketika film asing (Hollywood, Bollywood, dan lainnya) lebih diminati dari pada film dalam negeri, atau serial drama televisi asing (Korea, Turki, dan lainnya) lebih banyak ditonton dari pada sinetron lokal.

Penjajahan budaya populer asing tidak berhenti hanya di penguasaan rating acara televisi atau box office layar bioskop. Efek dari budaya populer juga menciptakan industri massa yang berpotensi menghilangkan kisah-kisah legenda Indonesia berganti dengan cerita atau dongeng superhero seperti Spiderman, The Avengers, dan lain-lain. Musikalitas Indonesia juga berpotensi tergeser oleh gaya bermusik K-Pop. Belum lagi bentuk budaya populer asing yang dihasilkan dari iklan media massa seperti McDonaldization, Barbie Icon, dan Amerikanisasi lainnya yang menjadi tren dan gaya hidup orang Indonesia pada umumnya saat ini.

Budaya populer adalah salah satu efek globalisasi yang tidak bisa dihindari. Namun melawan penjajahan budaya populer asing harus diwacanakan agar bangsa Indonesia tidak terlena dan akhirnya betul-betul tidak memiliki kebebasan dalam mengekspresikan kebudayaannya hanya karena tidak memiliki taste internasional. Perlawanan terhadap budaya populer asing tentu saja dilakukan dengan perlawanan budaya (counter culture). Melawan penjajahan budaya populer misalnya dengan lebih mengapresiasi film dan sinetron dalam negeri. Tidak sekedar menonton tapi juga menggali, mendiskusikan bahkan melakukan riset lebih dalam atas nilai-nilai kearifan lokal untuk memperkaya ragam narasi media massa dan mengeksposnya dengan bangga. Budaya tandingan juga bisa muncul dari ragam musik seperti dangdut, campur sari, dan lainnya yang kini mulai dikemas eksklusif dan memunculkan ikon-ikon idola. Melawan penjajahan budaya populer asing juga bisa dilakukan dengan memodifikasi fast food seperti gerai-gerai Ayam Geprek yang menandingi restoran fried chicken.

Melawan dengan Menguatkan

Melawan penjajahan budaya populer asing tidak berarti menolak dan menutup diri terhadap tren budaya di dunia karena terpaan globalisasi telah menyusup hingga ke wilayah terpencil sekali pun. Namun melawan penjajahan budaya populer asing adalah mengkondisikan penguatan sifat khas kepribadian bangsa sendiri dan tidak membiarkan negara mana pun melemahkan pikiran dan membelenggu kemerdekaan kebudayaan Indonesia. Merdeka!

*Penulis adalah mahasiswi Program Doktor Studi Islam UIN Walisongo Semarang; dosen tetap STAIN Kudus; anggota ELKASYF, Litbangkominfo PC Muslimat NU Kudus, dan Ketua Yayasan Aboesiri Klambu.

Share this Post: