Prodi

Filosofi GUS JI GANG

KARAKTERISTIK KOTA KUDUS

 

Filosofi kota kudus yang diakui memiliki makna mendalam adalah “Gus Ji Gang” yang merupakan singkatan dari kata Gus (tokoh agama yang memiliki kharisma/kekuasaan), Ji (ngaji yaitu proses mendalami atau menyebarkan ajaran Islam), Gang (berdagang /berbisnis/wiraswasta). Jika filosofi itu yang digunakan maka, Kota kudus dilihat dari aspek sejarah ditentukan oleh tiga orang tokoh yang memiliki ciri khusus berbeda, yaitu:

Pertama,  tokoh yang memiliki karakter tokoh agama dan memiliki kekuasaan/kharisma (GUS) yaitu Ja’far Shodiq yang dikenal dengan sebutan Kanjeng Sunan Kudus. Kedua, tokoh yang memiliki karaktersitik ngaji atau santri (JI) yaitu memegang nilai nilai keagamaan yang kuat meskipun tidak memiliki kekuasaan yang tinggi, yaitu Kiai Telingsing, dan Ketiga, tokoh yang memiliki karakteristik wirasawsta atau berbisnis/berdagang  (GANG) yang disimbolkan dengan seorang tokoh bernama Sung Ging An.

Gus Ji Gang bisa bermakna sebuah karakteristik masyarakat Kudus yang terdiri dari tiga macam yaitu Pertama, (GUS) berarti bagus pekertinya (sikap dan perilakunya). Kedua, (JI) berarti rajin ngaji yaitu mendalami ilmu-ilmu agama Islam sehingga dapat disebut santri. Ketiga, (GANG) yang berarti memiliki kepandaian atau keuletan dalam berdagang/berbisnis. Tiga macam karakteristik itulah yang sampai sekarang mendominasi masyarakat Kudus.

Pertanyaannya, apakah tiga karakteristik itu hanya dijadikan mitos sejarah yang hanya dibicarakan dan diceritakan ataukah mitos tersebut perlu ditransformasikan atau diimplementasikan ke dalam sistem kehidupan basyarakat baik dalam sistem sosial maupun birokrasi pemerintahan. 

Masyarakat Kudus secara umum memiliki tiga macam karakteristik yang perlu diimplementasikan ke dalam realitas kehidupan masyarakat dan pemerintahan. Tiga karakteristik tersebut adalah :

1.       Kultur tokoh/ketokohan, yaitu masyarakat Kudus memiliki semangat sebagai tokoh yaitu orang yang memiliki kharisma/kewibawaan.  Kewibawaan atau ketokohan seseorang akan muncul jika dibarengi dengan kualitas intelektual seperti, cerdas, kreatif, inovatif, dinamis,  kualitas sosial seperti, toleran, saling menghargai dan menghormati maupun kualitas moral seperti, disiplin, jujur, komitmen kepada kebenaran dan keadilan. Tanpa diimbangi dengan hal tersebut maka kharisma hanya bersifat fiktif atau semu.

2.       Kultur santri/ngaji, yaitu masyarakat Kudus harus memiliki semangat untuk selalu konsisten dan menjalankan ajaran syariat agama (Islam). Artinya memiliki ikatan kuat dalam menjalankan pesan atau ajaran Islam.  Santri secara bahasa dimaknai seorang pelajar yang sedanag menimba ilmu (mondok), oleh sebab itu pelajar yang sudah tidak mondok lagi tidak dikatakan santri. Dalam artian yang lebih luas, terutama dalam konteks sosiologis (ta’rif istilahi), santri bermakna “setiap orang Islam yang relatif taat dalam menjalankan ajaran Islam” baik ia alumnus pesantren atau bukan. Dengan demikian ia merupakan kebalikan dari muslim abangan, sebuah istilah bagi seorang muslim yang tidak taat. Dari kedua ta’rif santri secara lughawi maupun secara istilahi di atas dapat dipahami jika keduanya mengacu pada satu pemahaman : bahwa seorang santri adalah seorang muslim yang dalam perilaku kesehariannya akan selalu berusaha menjadi representasi atau mewakili ajaran Islam ideal (QS Al Baqarah 2:207).

3.       Kultur berbisnis, wirasawsta, bedagang, yaitu masyarakat Kudus memiliki semangat untuk berwiraswasta/berbisnis dengan cirri-ciri (a) disiplin, jujur, tekun (b) berani menanggung resiko dengan penuh perhitungan yang matang (c)  mempunyai daya kreasi , motivasi dan imajinasi (d) hidup efisien, tidak boros, tidak pamer kekayaan (e)  mampu menarik orang lain, karyawan untuk bekerjasama (f)  mampu menganalisa, melihat peluang-peluang

 Membangun Kudus Melalui Spirit “Gus Ji Gang”

Akronim budaya Kudus yang bernama “Gus ji gang”, tidak cukup hanya dihafal dan disampaikan dalam forum-forum seminar. Filosofi ini mutlak perlu diimplementaiskan ke dalam realitas kehidupan masyarakat Kudus baik masyarakat umum maupun masyarakat birokrasi atau kekuasaan. Konsekuensinya seluruh elemen masyarakat perlu melakukan berbagai langkah untuk membumikan sebutan budaya tersebut agar masyarakat Kudus benar-benar sesuai dnegan nilai-nilai atau pesan budaya Gus Jigang.

Persoalan sangat penting, spirit  Gus Ji Gang perlu diimplementasikan ke dalam berbagai program dan kebijakan pemerintah Kabupaten Kudus. Artinya pemerintah Kabupaten Kudus harus memiliki berbagai program atau kebijakan yang mengarah kepada terwujudnya filsofi “ Gus Ji Gang”.

Pertama, kebijakan yang bernuansa GUS dari filsofi “Gus Ji Gang”, yaitu Kabupaten Kudus harus memiliki konsep dan keberanian untuk mewujudkan kota Kudus sebagai kota yang masyarakatnya memiliki kharisma, sikap dan perilaku yang bagus dibanding wilayah lainnya. Kabupaten yang masyarakatnya memiliki kualitas intelektual, kualitas sosial dan kualitan moral yang lebih dibanding wilayah lainnya. Konsekuensinya, kabupaten Kudus harus memiliki kebijakan yang melahirkan keunggulan dalam berbagai bidang misalnya unggulan pendidikan (sekolah) yang tidak cukup hanya mengandalkan banyaknya sekolah yang berlabel RSBI, tetapi benar benar sekolah yang unggul baik dari aspek ketrampilan intelektual (kognitif) , ketrampilan sikap dan kepribadaian (affektif) dan ketrampilan mekanik khsuusnya merespon perkembangan ilmu pengetabhuan dan teknologi (psimotorik). Selain itu pemerintah Kabupaten Kudus juga harus memiliki atau mendesain unggulan wisata, dimana Kudus memiliki dua lokasi wisata religi yang berpotensi untuk dikembangkan secara optimal agar wisata religi benar-benar bermanfaat untuk pembangunan manusia seutuhnya dan juga perlu adanya unggulan kebersihan (adipura), unggulan birokrasi (pelayanan prima), sehingga masyarakat Kudus benar-benar terwujud dan terjamin kesejahteraan secara fisik maupun psikhis.

Kedua, kerbijakan yang bernuansa JI dari filosofi “Gus Ji Gang”, yaitu kabupaten Kudus harus memiliki program dan kebijakan yang mengarahkan masyarakatnya memiliki semangat untuk mendalami ilmu-ilmu keagamaan sehingga memiliki kualitas keberagamaan yang sesuai dengan dinamika dan perkembangan zaman. Misalnya, pola keberagaman yang toleran, pluralisme, anti teroris. Kabupaten Kudus harus mampu menjadi pioneer wilayah yang selalu meningkatkan kualtas toleransi beragama dan  pluralisme serta multikulturalisme agama, sosial dan budaya. Hal ini sejalan dengan yang diajarkan Kanjeng Sunan Kudus dalam melakukan dakwah Islam dan sosial. Konsekuensi nyata, pemerintah kabupaten Kudus perlu memiliki pusat kajian atau lembaga penelitian yang berciri khusus mengkaji persoalan sosial keagamaan yang bernuansa toleran, anti radikalisme (kekerasan) sehingga terwujud kedamaian dan ketentraman bagi masyarakat Kudus dan sekitarnya.

Ketiga, kebijakan yang bernuansa GANG dari filosofi “Gus Ji gang”, yaitu kabupaten Kudus harus smemiliki program danm kebijakan yang mengarahkan masyarakat Kudus memiliki semangat untuk mengembangkan perekonomian secara optimal. Oleh sebab itu penataan sector-sektor perekonomian harus dikelola secara optimal dan selalu memperhatikan perkembangan perekonomian masyarakat kecil. Penataan pasar modern harus berdasarkan semangat menghidupkan pasar tradisional, sehingga para pedagang kecil tetap eksis meskipun dibangaun pasar modern. Kudus harus menjadi pusat perekonomian masyarakat minimal pantura bagian timur, oleh sebab itu Kudus perlu memiliki berbagai fasilitas yang memadahi untuk perwujudan pusat perekonomian, misalnya perlu ada bandara udara, perlu penambahan hotel yang representatif untuk para investor atau pebisnis, perlu ada obyek wisata yang memadahi untuk kunjungan wisata.

Keempat, sebagai konsekuensi masyarakat religius dan santri yang disimbolkan dengan bangunan monumental berupa menara dan makam Waliyullah Kanjeng Sunan Kudus dan Kanjeng Sunan Muria, maka sudah saatnya memulai untuk membangun sebuah monumen wali yang dapat dijadikan pusat informasi bagi para peziarah khususnya tentang semangat dan sepak terjang dakwah Agama Islam kedua wali tersebut. Implikasi dari bangunan sebuah monumen tersebut, bahwa para peziarah tidak hanya melakukan aktivitas ritual keagamaan semata melainkan dapat menambah khazanah ilmu pengetahuan khususnsya tentang sejarah sepak terjang keberhasilan dakwah Islam yang dilaksanakan Kanjeng Sunan Kudus dan Kanjeng Sunan Muria. Pengaruh dalam jangka panjangnya, para pendatang atau peziarah akan mampu meneladani sikap dan perilaku waliyullah tersebut khususnyu dalam misi menyebarkan dan mengembangkan agama Islam.

 

Penulis adalah “buruh” di STAIN Kudus.

Share this Post: